Pukul
02.10 WIB
Jam sudah menunjukkan pukul 02.10 WIB,
terlambat satu jam dari jadwal kedatangan yang seharusnya, tapi tak apalah. Sampai
di Stasiun Pasar Senen kami dijemput oleh kakak sepupuku, Sepupu ayahku yang
seharusnya menjemput tidak datang. Dan akhirnya kami putuskan untuk singgah di
kamar kos sepupuku itu.
Pukul
04.28 WIB
Matahari belum menyinari Jakarta, tapi
kami harus segera berangkat menuju terminal untuk selanjutnya menuju Meruya,
Jakarta Barat, dimana Pamanku yang lain tinggal. Dalam perjalanan kami menuju
Jakarta Barat, bus yang kami naiki melewati Monas, saat itulah pertama kalinya
aku melihat Monas dari dekat, suasana Jakarta sangatlah berbeda dengan Solo dan
Karanganyar kampong halamanku. Di Jakarta, gedung-gedung menjulang tinggi dan
kesibukan sudah terlihat sejak pagi buta.
Pukul
06.45 WIB
Kami sudah berganti bus dengan angkot,
dan pagi itu angkot kami berhenti cukup lama di depan suatu pasar yang tak
dapat ku ingat namanya. Macet, ya beginilah keadaan Jakarta, sangat amat
berbeda dengan kampung halaman. Lama perjalanan kami hingga akhirnya sampai di
sebuah kompleks perumahan. Sepupuku ada di depan kami sembari menunjukkan
jalan, dan sampailah kami di sebuah rumah. Saat itulah pertama kalinya aku berjumpa dengan anak dari kakaknya
kakek ku, Paman Gito. Meskipun mungkin aku pernah berjumpa dengannya saat aku
masih kecil, tentu itu sudah lama sekali.
Tak banyak cerita yang kami bagi, karena
pagi itu pamanku sekeluarga akan menyelenggarakan sebuah acara, sebuah rapat
keluarga untuk membicarakan pernikahan anaknya. Kakak sepupuku ini memang sudah
mapan, menjadi seorang akuntan public di delapan perusahaan yang berbeda, luar
biasa bukan?
Para tamu mulai berdatangan, saat itu
juga aku berjumpa dengan
saudara-saudara ayahku yang belum pernah aku temui sebelumnya, seperti Paman
Pur dan Budhe Kartini. Acara yang seharusnya tidak aku hadiri ini pun membuatku
lelah. Tak lama setelah acara tersebut selesai, ayahku memberitahuku untuk
segera berkemas, karena Pakdhe Pur bersedia mengantar kami ke kampus baru ku,
STAN.
Pukul
14.45 WIB
Aku dan ayahku pun berpamitan kepada
Pakdhe dan Budhe Gito untuk melanjutkan perjalanan menuju STAN. Di dalam mobil
Budhe memberikan beberapa “wanti-wanti” hidup di kota Jakarta, tak banyak
memang. Mas Dimas pun sedikit bercerita tentang STAN. Beberapa menit berlalu
dan kami sudah sampai di kawasan Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Untuk pertama
kalinya aku melihat kampus STAN yang tersohor, yang menjadi idaman ribuan calon
mahasiswa di Indonesia untuk dapat menimba ilmu di sana.
*STAN*
Pertama yang kulihat dari kampus baruku
ini tentu air mancur yang menjadi icon STAN,
kulihat beberapa orang berfoto dengan latar belakang air mancur itu. Ingin
sekali aku diambil gambarnya dengan latar belakang air mancur STAN ssaat itu,
lalu suara seruan ayahku membuyarkan
lamunan ku. Ayah segera mengajak berkeliling untuk mencari tahu gedung yang
esoknya akan digunakan untuk daftar ulang. Kami pun bertemu dengan salah
seorang panitia yang sedang melakukan geladi bersih. Dia memberitahu gedung
mana yang pada keesokan harinya digunakan untuk daftar ulang.
Kami pun melanjutkan berkeliling dengan
tujuan mencari kos yang nantinya akan aku tempati. Seorang satpam menawarkan
bantuan untuk mencari kos, dan ayahku mengiyakan. Lalu dipanggilnya seorang
lelaki paruh baya untuk mengatarkan kami melihat kamar kosnya. Sebuah
pemandangan yang baru pertama kali aku temui, sebuah permukiman padat penduduk,
rumanya tidak tertata rapi dan saling berimpitan satu sama lain.
Tak lama kami sampai di sebuah rumah
dengan halaman yang cukup luas dengan pohon-pohon yang rimbun. Sang pemilik kos
menyambut kami dengan sangat ramah. Mereka menunjukkan dua kamar yang masih
kosong. Ibu pemilik kos pun membukakan kamar pertama. Gelap, luas ruangan itu
kira-kira 3x3 m, ada sebuah lemari di pojok kamar, sebuah kasur empuk membujur
dari utara ke selatan. Sebuah meja kayu di sisi pojok kamar yang lain beserta
kursinya. Tak banyak memang isi kamar ini. Saat ayahku bertanya, aku hanya
berkomentar sekenanya, memang aku kurang merasa nyaman dengan kamar itu.
“Masih ada yang kamar mandi dalam nggak
bu?” tanya Ayahku kepada pemilik kos.
“Masih sih pak, hanya saja letaknya di
ujung.” Jawab ibu kos.
Lalu ibu kos mengantar kami melihat
kamar yang dimaksud. Kesan pertama saat memasuki kamar ini, agak ngeri juga
karena letak kamarnya di paling ujung, Tapi melihat keadaan kamar cukuplah
membuat hati ini “sreg” dan setelah beberapa saat bernegosiasi kepada pemilik
kosan untuk harga sewa kamar, aku pun kini resmi sebagai calon penghuni kosan. Haha,
sebuah pengalaman yang selalu aku dambakan sejak lulus sekolah.
Selesai memesan kamar kos, kami
memutuskan untuk pulang ke rumah Pakdhe Pur. Aku dan ayahku pun menginap
semalam di rumah Pakdhe Pur sebelum esok hari aku harus melakukan daftar ulang.
Tak sabar menunggu esok hari, setelah sholat isya’ aku putuskan untuk segera
tidur.
Pukul
04.05 WIB
Terbangun aku dari tisurku yang nyenyak.
Letih yang ku alami kemarin pun hilang. Aku pun bergegas untuk mandi, karena
aku tak ingin terjebak oleh macet lagi. Setelah sholat, Budhe menyuruh kami
untuk sarapan. Tak lama kemudian kurapikan semua baju dan bersiap siap untuk
berangkat. Semua sudah ku periksa, pakaian hitam putih berlengan panjang,
berkas daftar ulang, sepatu baru, dan semangat baru.
Pukul
05.07 WIB
Kulihat Mas Dimas sedang memanasi mobil.
Lalu aku dan ayahku memasukkan barang-barang kai dan kemudian berpamitan kepada
pakdhe dan budhe. Budhe berpesan untuk menyempatkan berkunjung ke rumahnya saat
libur. Mobil mas Dimas sudah dikeluarkan dari garasi, sejenak berdoa untuk
keselamatan kami selama berkendara. Langit masih gelap namun keadaan jalan
sudah ramai. Banyak hal terbayang dikepalaku tentang kehidupan kos dan lain
sebagainya. Tak sabar rasanya.
Pukul
05.58 WIB
Memasuki gerbang STAN kulihat beberapa
mobil, bahkan ada bus sudah terparkir di dekat air mancur STAN. Aku hanya
berfikir positif bahwa antrian di buka jam 6 memang, dan benar saja antrian
sudah menular panjang untuk daftar ulang di hari pertama. Setelah turun dari
mobil aku pun segera berlari tak ingin ketinggalan dengan yang lain. Aku berdiri
di antrian paling belakang, lalu satu per satu calon mahasiswa baru berdatangan
dan berbaris juga di belakangku. Cukup lama ku berdiri hingga akhirnya antrian
bergerak. Mungkin hampir dua jam aku berdiri hanya untuk mendapat nomor antrian
danaku mendapat nomor antrian 700’an (aku lupa berapa tepatnya).
Menunggu, hanya itu yang aku lakukan,
sedikit berjalan-jalan untuk menghilangkan kebosanan. Saat sedang duduk
seseorang yang duduk disampingku bertanya kepadaku.
“Kuliah di U*S juga mas?” tanyanya.
“Iya.”
“Jurusan apa?”
“Pendidikan Matematika”
“Loh kok sama?”
Dan obrolan kami berlanjut, ternyata dia
adalah adik tingkatku di kampusku yang dulu, dan tak disnagka kami berasal dari
kabupaten yang sama. Seperti menemukan keluarga meskipun kami tidak memiliki
hubungan keluarga yang sebenarnya. Hahaha
Lama menunggu hingga kudengar suara
adzan Dzuhur, kuputuskan untuk sholat di masjid kampus. Selesai sholat ayahku
menawarkan untuk istirahat di kos sementara, karena giliranku dipanggil masih
lama, tapi aku menolaknya. Sampai akhirnya nomorku dipanggil, sudah tak ku
perhatikan pukul berapa waktu itu.memasuki Gd G, ternyata kami pun masih harus
menunggu.
Pukul
20.18 WIB
Akhirnya tiba waktu kami untuk melakukan
pemberkasan, tidak memakan waktu lama dan sesi daftar ulang lembaga pun selesai.
Berlanjut daftar ulang BEM, ada serangkaian proses yang harus kami lalui, mulai
dari membayar biaya untuk Kegiatan Kemahasiswaan, tes kesehatan, mengukur badan
untuk jas alamamater, peminatan kegiatan mahasiswa, dan yang paling menarik
adalah saat kami ditanyai bakat yang dimiliki, mereka yang memiliki bakat
tertentu akan mendapat golden tiket untuk tampil di malam inagurasi. Dan pos
terakhir adalah keagamaan. Selesai melakukan daftar ulang, badanku terasa
sangat letih dan hanya ingin segera mandi lalu tidur.
Keesokan harinya ayahku mengajak
berbelanja keperluan untuk DINAMIKA (untuk universitas lebih sering disebut
ospek), banyak barang yang harus dibeli saat itu. Jelas terbayang seperti apa
nanti DINAMIKA itu. Kulihat beberapa mahasiswa baru STAN yang juga berbelanja
di swalayan dekat kampus, beberapa dari mereka sudah memangkas rambut mereka
(salah satu aturannya kami harus botak). Beberapa barang di swalayan itu bahkan
sudah habis, meski tersisa pun barang itu pasti sudah rusak.
Rabu 18 September 2013, ayahku berkemas
untuk kembali ke kampong halaman. Setelahnya akau akan resmi menjadi anak kos
seutuhnya, jauh dari rumah dan keluarga. Ada rasa senang karena dapatkan apa
yang aku inginkan, rasa haru untuk ketiga kalinya menjadi mahasiswa baru. Akan tetapi,
rasa sedih pun muncul disaat bersamaan karena terpisah jauh dengan keluarga. Hanya
satu yang aku camkan di dalam diriku adalah, aku tak boleh mengecewakan Mereka,
orang tuaku yang telah berkorban untuk impian anaknya. Dan semoga aku bisa
mewujudkan apa yang mereka inginkan suatu saat nanti.